Warung Bebas

Saturday 9 June 2012

Laporan Pendahuluan Head Injury

1.    Definisi
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi dan Rita Yuliani.2001)
2.    Epidemiologi
Insiden cedera kepala nyata yang memerlukan perawatan di RS dapat diperkirakan 480 ribu kasus pertahun (200 kasus, 100 ribu orang) yang meliputi concussion, fraktur tengkorak, peradarahan intracranial, laserasi otak, hematoma dan cedera serius lainnya. Dari total ini, 75 – 85 % adalah concussion dan sekuele cedera kepala ringan. Cedera kepala banyak terjadi pada laki – laki berumur antara 15 – 24 tahun, dan biasanya karena kecelakaan bermotor. Menurut Rinner, dari 1200 pasien yang dirawat di RS dengan cedera kepala tertutup, 55 % dengan cedera kepala ringan (minor).
3.    Etiologi
- Kecelakaan lalu lintas
- Perkelahian
- Jatuh
- Cedera olahraga
- Trauma tertembak (peluru) dan pecahan bom
- Trauma benda tumpul
- Kecelakaan kerja
- Kecelakaan rumah tangga


4.    Patofisiologi
Cedera kepala dapat disebabkan oleh berbagai faktor, namun penyebab terseringnya adalah kecelakaan seperti kecelakaan lalu lintas. Jika hal tersebut terjadi, akan mengakibatkan terjadinya trauma pada kepala sehingga dapat menimbulkan perdarahan,baik perdarahan intracranial maupun perdarahan ekstrakranial..Perdarahan intrakranial dapat menyebabkan terjadinya peningkatan TIK, akibat yang ditimbulkan yaitu sakit kepala hebat dan menekan pusat reflek muntah di medulla yang mengakibatkan terjadinya muntah proyektil sehingga tidak terjadi keseimbangan antara intake dengan output. Selain itu peningkatan TIK juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran dan aliran darah otak menurun. Jika aliran darah otak menurun maka akan terjadi hipoksia yang menyebabkan disfungsi serebral sehingga koordinasi motorik terganggu. Disamping itu hipoksia juga dapat menyebabkan terjadinya sesak nafas.
Pendarahan ekstrakranial dibagi menjadi dua yaitu perdarahan terbuka dan tertutup. Perdarahan terbuka (robek dan lecet) merangsang pelepasan mediator histamin, bradikinin,prostaglandin yang merangsang stimulus nyeri kemudian diteruskan nervus aferen ke spinoptalamus menuju ke kortek serebri sampai nervus eferen sehingga akan timbul rasa nyeri. Jika perdarahan terbuka (robek dan lecet) mengalami kontak dengan benda asing akan memudahkan terjadinya infeksi bakteri pathogen. Sedangkan perdarahan tertutup hampir sama dengan perdarahan terbuka yaitu dapat menimbulkan rasa nyeri pada kulit kepala.
1.    Klasifikasi
Cedera Kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, tingkat keparahan, dan morfologi cidera.
Berdasarkan Mekanisme :
a) Trauma Tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil), kecepatan rendah (terjatuh, terpukul)
b) Trauma Tembus : luka tembus peluru dan cdera tembus lainnya.
Berdasarkan Tingkat Keparahan :
Biasanya Cedera Kepala berdasarkan tingkat keparahannya didasari atas GCS. Dimana GCS ini terdiri dari tiga komponen yaitu :
1. Membuka Mata
Spontan
Terhadap rangsang suara
Terhadap nyeri
Tidak ada    4
3
2
1
2. Respon Verbal
Orientasi baik
orientasi terganggu
Kata-kata tidak jelas
Suara Tidak jelas
Tidak ada respon    5
4
3
2
1
3. Respon Motorik
Mampu bergerak
Melokalisasi nyeri
Fleksi menarik
Fleksi abnormal
Ekstensi
Tidak ada respon    6
5
4
3
2
1
Total    3 – 15
Kategori Penentuan Keparahan cedera Kepala    berdasarkan Nilai Skala Koma Glasgow (SKG)
Penentuan
keparahan    Deskripsi
Minor/ Ringan    SKG 13 – 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusia cerebral, hematoma
Sedang    SKG 9 – 12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
Berat    SKG 3 – 8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga meliputi kontusia serebral, laserasi atau hematoma intrakranial
Berdasarkan morfologi
a) Fraktur tengkorak
- Kranium : linear / stelatum ; depresi / non depresi ; terbuka / tertutup.
- Basis : dengan / tanpa kebocoran cairan serebrospinal ; dengan /
tanpa kelumpuhan nervus VII
b) Lesi intracranial
- Fokal diakibatkan dari kerusakan local yang meliputi konsio serebral dan hematom serebal, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan masa lesi, pergeseran otak.
- Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.
Tipe Trauma Kepala
a.   Trauma kepala terbuka
1)      Trauma ini dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi durameter. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak, misalnya akibat benda tajam atau tembakan.
2)      Fraktur linier di daerah temporal, dimana arteri meningeal media berada dalam jalur tulang temporal, sering menyebabkan perdarahan epidural. Fraktur linier yang melintang garis tengah, sering menyebabkan perdarahan sinus dan robeknya sinus sagitalis superior.
3) Fraktur di daerah basis, disebabkan karena trauma dari atas atau kepala bagian atas yang membentur jalan atau benda diam. Fraktur di fosa anterior, sering terjadi keluarnya liquor melalui hidung (rhinorhoe) dan adanya brill hematom (raccon eye).
4)      Fraktur pada os petrosus, berbentuk longitudinal dan transversal (lebih jarang). Fraktur longitudinal dibagi menjadi anterior dan posterior. Fraktur anterior biasanya karena trauma di daerah temporal, sedang yang posterior disebabkan trauma di daerah oksipital.
5)      Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus interna, foramen jugularis dan tuba eustakhius. Setelah 2 – 3 hari akan nampak battle sign (warna biru di belakang telinga di atas os mastoid) dan otorrhoe (liquor keluar dari telinga). perdarahan dari telinga dengan trauma kepala hampir selalu disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Pada dasarnya fraktur tulang tengkorak itu sendiri tidaklah menimbulkan hal yang emergensi, namun yang sering menimbulkan masalah adalah fragmen tulang itu menyebabkan robekan pada durameter, pembuluh darah atau jaringan otak. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan pusat vital, saraf kranial dan saluran saraf (nerve pathway).
b. Trauma kepala tertutup
1)   Komotio serebri (gegar otak)
Penyebab gejala komotio serebri belum jelas. Akselerasi-akselerasi yang meregangkan otak dan menekan formotio retikularis merupakan hipotesis yang banyak dianut. Setelah penurunan kesadaran beberapa saat pasien mulai bergerak, membuka matanya tetapi tidak terarah, reflek kornea, reflek menelan dan respon terhadap rasa sakit yang semula hilang mulai timbul kembali. Kehilangan memori yang berhubungan dengan waktu sebelum trauma disebut amnesia retrograde. Amnesia post traumatic ialah kehilangan ingatan setelah trauma, sedangkan amnesia traumatic terdiri dari amnesia retrograde dan post traumatic.
2) Edema serebri traumatic
Otak dapat menjadi sembab tanpa disertai perdarahan pada trauma kapitis terutama pada anak-anak. Pingsan dapat berlangsung lebih dari 10 menit, tidak dijumpai tanda-tanda kerusakan jaringan otak. Pasien mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah. Pemeriksaan cairan otak mungkin hanya dijumpai tekanan yang agak meningkat.
3) Kontusio serebri
Kerusakan jaringan otak disertai perdarahan yang secara makroskopis tidak mengganggu jaringan. Kontosio sendiri biasanya menimbulkan defisit neurologis jika mengenai daerah motorik atau sensorik otak.
Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosa kontusio serebri meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan CT scan dalam pemeriksaan cedera kepala. Kontusio serebri sangat sering terjadi difrontal dan labus temporal, walaupun dapat terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan serebelum. Batas perbedaan antara kontusio dan perdarahan intra serebral traumatika memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja dalam waktu beberapa jam atau hari mengalami evolusi membentuk pedarahan intra serebral (ATLS 1997).
4)  Perdarahan  Intrakranial
a)   Perdarahan Epidural
Perdarahan epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi pada regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya anteri meningea media (Sudiharto 1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran progesif disertai kelainan neurologis unilateral. Kemudian gejala neurologis timbul secara progesif berupa pupil anisokor, hemiparese, papiledema dan gajala herniasi transcentorial.
Perdarahan epidural di fossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus lateral, jika terjadi di oksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah ataksia serebelar dan paresis nervi kranialis. Ciri perdarahan epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung.
b) Perdarahan Subdural
Terjadi antara duramater dan arachnoid. Perdarahan subdural lebih biasa terjasi perdarahan epidural (30 % dari cedera kepala berat). Umumnya perdarahan akibat pecahnya/robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara kortek serebri dan sinus venosa tempat vena tadi bermuara, namun dapat pula terjadi akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaaan otak.
Gejala yang sub akut tidak sejelas yang gejala akut. Perdarahan subdural menjadi simptomatik dalam 3 hari disebut akut, jika gejala timbul antarqa 3 sampai 21 hari disebut subakut, sedangkan lebih dari 21 hari disebut kronik.
Gejala yang paling sering pada akut adalah nyeri kepala, mengantuk, agitasi cara berpikir yang lambat dan bingung. Gejala yang paling sering pada kronik adalah nyeri kepala yang semakin berat, cara berpikir yang lambat, bingung, mngantuk. Pupil edema dapat terjadi dan pupilipsilateral dilatasi dan refleka cahaya menurun, Hemiparese sebagai tanda akhir biasa ipsilateral atau kontralateral tergantung pada a[akah lobus temporal mengalami herniasi melalui celah tentorum dan menekan pendukulus serebri kontralateral.
Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosinyapun jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural.
c) Perdarahan subarahnoid
Perdarahan subaranoid sering terjadi pada trauma kapitis. Secara klinis mudah dikenali yaitu ditemukannya kaku kuduk, nyeri kepala, gelisah, suhu badan subfebril.
Gejalanya menyerupai meningitis. Perdarahan yang besar dapat disertai koma. Pedarahan terjadi didalam ruang subarahnoid karena robeknya pembuluh darah yang berjalan didalamnya. darah tercampur dengan cairan otak. Adanya darah didalam liquor serebri spinal akan merangsang meningia sehingga terjadi kaku kuduk.
2. Gejala Klinis
- Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan tidak tegap, kehilangan tonus otot.
- Perubahan tekanan darah, perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
- Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami gangguan fungsi.
- Muntah proyektil, gangguan menelan
- Perubahan kesadaran bisa sampai koma.
- Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris) deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris, refleks tendon tidak ada atau lemah, kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
- Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
- Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi, abrasi, perubahan warna, adanya aliran cairan (drainase) dari telinga atau hidung (CSS), gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi tubuh.
- Merasa lemah, lelah, hilang keseimbangan.
- Cemas
- Mual, muntah, mengalami perubahan selera.
- Sakit kepala atau nyeri kepala hebat.
3. Pemeriksaan Fisik
Breathing : Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
Blood : Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
Brain : Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
- Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
- Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri)
- Keseimbangan tubuh.
- Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
Bladder : Pada cedera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia urin, ketidakmampuan menahan miksi.
Bowel : Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia).
Bone : Pasien cedera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot. Kerusakan area motorik hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
4. Pemeriksaan Diagnostik/ Penunjang
- CT Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
- MRI : sama dengan CT Scan
- Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan, trauma
- EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.
- PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
- Sinar X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan) adanya fragmen tulang.
- Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
- Fungsi Lumbal : CSS, dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan sub arakhnoid.
- AGD : untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi perdarahan sub arakhnoid.
- Kimia elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan TIK atau perubahan mental.
- Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial
5.    Komplikasi
- Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata atau cedera kepala tertutup yang ditandai oleh hilangnya kesadaran. Konkusio menyebabkan periode apnu yang singkat.
- Hematoma Epidural adalah penimbunan darah di atas durameter. Hemotoma epidural terjadi secara akut dan biasanya terjadi karena pendarahan arteri yang mengancam jiwa.
- Hematoma subdura adalah penimbunan darah dibawah durameter tetapi diatas membrane abaknoid. Hematoma ini biasanya disebabkan oleh pendarahan vena, tetapi kadang-kadang dapat terjadi perdarahan arteri subdura.
- Pendarahan subaraknoid adalah akumulasi darah di bawah membran araknoid tetapi diatas diameter, ruang ini hanya mengandung cairan serebraspinalis bila dalam keadaan normal.
- Hematoma intraserebrum adalah pendarahan di dalam otak itu sendiri, hal ini dapat timbul pada cedera kepala tertutup yang berat ataupun pada cedera kepala terbuka.
6.    Prognosis
Cedera kepala merupakan salah satu penyakit yang perlu diwaspadai. Melihat penyebarannya yang banyak menimpa kalangan produktif. Penyakit ini disebut sebagai penyebab kematian utama di kalangan yang tidak mentaati aturan dalam berlalu lintas. Selain itu perawatan penyakit ini cukup serius dan sulit. Tidak menutup kemungkinan di tengah perawatan bisa muncul komplikasi dari penyakit lainnya seperti edema, kerusakan jaringan otak dan adanya perdarahan serius yang sulit ditangani. Prognosis pada cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostic yang besar : skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap pada kondisi vegetative hanya 5-10%. Syndrome pascakonkusi berhubungan dengan sindrom nyeri kepala kronis, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala. Sering kali bertumpang tindih dengan depresi. Jadi prognosisnya buruk.
7.    Therapy/tindakan penanganan
- Larutan isotonis (salin normal atau larutan Ringer laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5% dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
- Profilaksis ulkus peptik : pasien dengan ventilasi mekanis atau koaglupati memiliki resiko ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50 mg intravena setiap 8 jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6 jam atau H2 antagonis lain atau inhibitor proton.
- Endemelasin (15 – 250 mg/hari) dan naproxen (1000 – 1500 mg/hari) berguna untuk menghindari ketergantungan terhadap analgesik.
- Dapat diberikan alkaloid ergot (ergonovino) sebagai profilaksis
- Kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Dengan memberikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai tiga kali masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit
8.    Penatalaksanaan
Pedoman resusitasi dan penilaian awal
1. Menilai jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jika cedera kepala orofasial mengganggu jalan nafas, maka pasien harus diintubasi.
2. Menilai pernapasan : tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika tidak berikan oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi, jika tersedia, dengan tujuan menjaga saturasi oksigen minimum 95%. Jika pasien tidak terlindung bahkan terancam atau memperoleh oksigen yang adekuat (PaO2 >95 mmHg dan PaCO2 > 95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh ahli anestesi.
3. Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intrabdomen atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang jalur intravena ynag besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan dara perifer lengkap ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan laruta kristaloid (dekstrosa dan dekstrosa salan salin) menimbulkan eksaserbasi edema otak pasca cedera kepala. Keadaan hipotensi, hipoksia dan hiperkapnia memburuk cedera kepala.
4. Obati kejang : kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Dengan memberikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai tiga kali masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
5. Menilai tingkat keparahan
a. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
- Skor skala koma Glasgow 15(sadar penuh, atensif, dan orientasi)
- Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)
- Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang.
- Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing.
- Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala.
b. Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
- Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
- Konkusi
- Amnesia pasca trauma
- Muntah
- Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebrospinal)
- Kejang
c. Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)
- Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)
- Penurunan derajat kesadaran secara progresif
- Tanda neurologis fokal
- Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium
Pedoman penatalaksanaan
1. Pada semua pasien dengan cedera kepala atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal (proyeksi antero-posterior, lateral dan odontoid), kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal.
2. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, dilakukan prosedur berikut :
- Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan Ringer laktat : catat isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular daripada cairan hipotonis dan larutan ini tidak menambah edema serebri.
- Lakukan pemeriksaan : hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosis, kimia darah, glukosa, ureum, kreatinin, masa protrombin, atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar alkohol bila perlu.
3. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang : foto rontgen kepala tidak diperlukan jika CT Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan cedera kepala ringan, sedang atau berat, harus dievaluasi adanya :
- Hematoma epidural
- Darah dalam suaracnoid dan intraventrikel
- Kontusio dan perdarahan jaringan otak
- Edema serebri
- Obliterasi sisterna perimesensefalik
- Pergeseran garis tengah
- Fraktur kranium, cairan dalam sinus dan pneumosefalus.
4. Pada pasien yang koma (skor GCS <8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi, lakukan tindakan berikut ini :
- Elevasi kepala 30o
- Hiperventilasi : intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermiten dengan kecepatan 16-20 kali/menit dengan volume tidal 10-12 ml/kg. Atur tekanan CO2 sampai 28-32 mmHg. Hipokapnia berat (PCO2 < 25 mmHg) harus dihindari sebab dapat menyebabkan vasokontriksi dan iskemia serebri.
- Berikan manitol 20% 1g/kg intravena dalam 20-30 menit. Dosis ulang dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama.
- Pasang kateter Foley
- Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang besar, hematoma subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi > diploe)
Penatalaksanaan Khusus
1. Cedera kepala ringan : pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi kriteria sebagai berikut :
- Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas normal
- Foto servikal jelas normal
- Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gaeat darurat jika timbul gejala perburukan.
Kriteria perawatan di rumah sakit :
- Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan
- Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
- Adanya tanda atau gejala neurologis fokal
- Intoksikasi obat atau alkohol
- Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
- Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah.
2. Cedera kepala sedang : pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan skala trauma Glasgow 15 (sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah) dan CT Scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan dengan observasi di rumah meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing atau amnesia. Resiko timbulnya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
3. Cedera kepala berat : setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsultasi ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan primer akibat cedera, tetapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi atau tekanan tekanan intrakranial yang meningkat.
- Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi : umumnya pasien dengan stupor atau koma (tidak dapat mengikuti perintah karena kesadaran menurun), harus diintubasi untuk proteksi jalan nafas. Jika tidak ada bukti tekanan intrakranial meninggi, parameter ventilasi harus diatur sampai PCO2 40 mmHg dan PO2 90-100 mmHg.
- Monitor tekanan darah : jika pasien memperlihatkan tanda ketidakstabilan hemodinamik (hipotensi dan hipertensi), pemantauan paling baik dilakukan dengan kateter arteri. Karena autoregulasi sering terganggu pada cedera kepala akut, maka tekanan arteri harus dipertahankan untuk menghindari hipotensi (<70 mmHg) dan hipertensi (>130 mmHg). Hipotensi dapat menyebabkan iskemia otak dan hipertensi dapat mengeksaserbasi serebri.
- Memasang alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS <8, bila memungkinkan
- Penatalaksanaan cairan : hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan Ringer laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5% dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
- Nutrisi : cedera kepala berat menimbulkan respon hipermetabolik dan katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral melalui pipa nasogastrik atau nasoduodenal harus diberikan sesegera mungkin. (biasanya hari ke-2 perawatan).
- Temperatur badan : demam (temperatur > 101oF) mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan penyebab (antibiotika) diberikan bila perlu.
- Antikejang : fenitolin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari intravena mengurangi frekuensi kejang pasca trauma dini (minggu pertama) dari 14% menjadi 4% pada pasien dengan perdarahan intrakranial traumatik. Pemberian fenitoin tidak mencegah timbulnya epilepsi pascatrauma di kemudian hari. Jika pasien tidak mengalami kejang pemberian fenitoin harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau secara ketat karena kadar subterapi sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin.
- Steroid : steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu steroid hanya untuk dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg intravena setiap 4-6jam selama 48-72 jam).
- Profilaksis trombosis vena dalam : sepatu bot kompresif pneumatik dipakai pada pasien yang tidak bergerak untuk mencegah terjadinya trombosis vena dalam pada ekstrimitas bawah dan resiko yang berkaitan dengan tromboemboli paru. Heparin 5.000 unit subkutan setiap 12 jam dapat diberikan 72 jam setelah cedera pada pasien dengan imobilisasi lama, bahkan dengan adanya perdarahan intrakranial.
- Profilaksis ulkus peptik : pasien dengan ventilasi mekanis atau koaglupati memiliki resiko ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50 mg intravena setiap 8 jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6 jam atau H2 antagonis lain atau inhibitor proton.
- Antibiotik : penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis pada pasien dengan cedera kepala terbuka masih kontroversial. Golongan penisislin dapat mengurangi resiko meningitis pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial tetapi dapat meningkatkan resiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen.
- CT Scan lanjutan : umumnya, scan otak lanjutan harus dilakukan 24 jam setelah cedera awal pada pasien dengan perdarahan intrakranial untuk menilai perdarahan yang progresif atau yang timbul belakangan. Namun, biaya menjadi kendala penghambat.
B. KONSEP ASUHAN DASAR KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Data Subjektif
- Sesak nafas, nafas pendek.
- Mual, pusing, merasa tidak nyaman.
- Lemas.
- Terdapat nyeri, sakit kepala berat (nyeri kepala hebat).

Data objektif
- Pola nafas tidak teratur, adanya sputum.
- Muntah proyektil.
- Tidak mampu melakukan aktivitas, perubahan gaya berjalan, keterbatasan gerak dan ROM.
- Robekan atau lesi pada kepala.
- Cemas, gelisah.
- Gangguan kesadaran.
- Bradikardi, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia, dispnea.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko tinggi peningkatan tekanan intrakranial dengan faktor resiko desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran darah pada pusat pernapasan di otak, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal, kegagalan ventilator.
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum, peningkatan sekresi secret, penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
4. Nyeri Akut berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
5. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema pada otak.
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan metabolisme dan kemampuan mencerna.
7. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan disfungsi serebral.
8. Cemas berhubungan dengan krisis situasional/perubahan status kesehatan.
9. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit.
10. Resiko kekurangan volume cairan dengan factor resiko gangguan kesadaran dan disfungsi hormonal.
11. Resiko infeksi dengan factor resiko adanya luka terbuka, penurunan sistem pertahanan primer dan tindakan invasif.














0 comments em “Laporan Pendahuluan Head Injury”

Post a Comment